AGAMA - BUKAN BAHAN BERCANDA

Dari lahir saya beragama islam. TK di Aisiyah, SD Muhammadiyah, SMP swasta tapi teman - teman saya juga islam, SMK Muhammadiyah lagi, Lalu kuliah di swasta. Dari lahir sampai SMK, lingkungan saya islam semua. Barulah ketika saya kuliah banyak bertemu teman - teman beda agama yang membuat pemikiran saya lebih terbuka.
Sebelumnya, karena intensitas bertemu orang yang berbeda agama saya sangat rendah, saya biasanya merasa deg - degan ketika bertemu dengan orang lain yang agamanya berbeda. Takut murtad dengan sendirinya. Sejak kecil saya dibiasakan untuk menghindari menyebut agama lain kecuali pas pelajaran IPS, ikon agama lain, ataupun tokoh - tokohnya. kalaupun terpaksa menyebutkan, harus dengan berbisik atau menggunakan kode. Misal menyebutkan anjing, dengan kata guguk, dll.
Lucunya,  saya pernah diberi sugesti oleh salah seorang tetangga saya untuk tidak melihat salib dalam bentuk apapun baik dari gambar, kalung, ataupun salib yang dipasang di depan gereja karena akan menimbulkan sakit kepala dan mual mual. Solusinya, kalau sudah terlanjur melihat harus makan apel hijau untuk meredakan pusing atau mual yang dialami. Sejak saat itu saya selalu takut dan merasa bersalah kepada diri sendiri kalau tidak sengaja melihat salib. Apalagi bercanda soal agama lain, selain tidak ada referensi, tidak ada sasaran yang mendengarkan juga.
Setelah kuliah barulah saya memiliki beberapa teman yang berbeda keyakinan. Awalnya agak canggung, akan tetapi lama kelamaan merasa terbiasa juga. Satu hal yang saya pelajari, mereka biasa saja. Mereka juga sama, makan nasi dan bisa bertoleransi. Pernah suatu ketika saya pergi berdua dengan seorang teman katholik ke sebuah desa kecil yang warganya muslim semua. Saat saya sholat di masjid, teman saya menunggu di depan. seorang ibu paruh baya menghampirinya dan mengajak ngobrol. Warga disana memang rata - rata ramah semua. Saat saya selesai sholat, ibu tadi pergi. saya bertanya kepada teman saya ini.
"kenapa dia ?" tanyaku. Dia disini maksudnya adalah ibu tadi.
" nanyain. sedang apa ? trus tak jawab nunggu temen sholat." jawabnya. " terus dia tanya lagi, lha kamu nggak sholat mbak ? tak jawab lagi haid." lanjutnya sambil tertawa.
Saya ikut tertawa kecil.
Dalam situasi ini saya tidak menyalahkan teman saya karena berbohong. Mengingat warga disana muslim semua, mungkin secara tidak sadar dia mencari aman daripada menimbulkan perasaan yang kurang nyaman kepada ibu tadi jika tau bahwa yang diajak ngobrol beda keyakinan.
Semakin kesini, saya semakin terbiasa berteman dengan non islam. Kami masih tetap bisa bercanda dan bercandaan kami aman - aman saja, tidak pernah menjadi sengketa.
sampai beberapa waktu lalu ada dua orang yang menurut saya adalah salah satu toleransi yang bisa dijadikan contoh, karena keduanya terlihat tidak pernah mendebatkan kalau agama yang dia anut paling benar. Kini, dua orang itu dituduh melakukan penistaan agama karena memasak dengan mengkombinasikan bahan halal dan haram dalam islam, Coki - Muslim.
Saya menonton video yang katanya lumayan mengundang perdebatan warga net tentang benar atau salahnya konten tersebut. Jujur, saya malah tertawa terbahak - bahak saat menonton video yang diunggah di channel Tretan Universe itu. Justru saya malah tidak tertawa dengan lawakan yang akhir - akhir ini populer yang bercandanya satu grup, bergantian memberikan argumen yang dianggap lucu lalu teman - teman dibelakangnya menyoraki. Saya bengong sambil bertanya - tanya lucunya dimana ?
Saya menonton ulag video Muslim yang jadi perdebatan itu, dan masih tertawa lagi. Penistaannya dimana ? kalaupun ada kasus penistaan agama, justru menurut saya yang berhak tersinggung adalah Coki saat di awal video Muslim bilang "Neraka, nekara, api neraka, babi ini neraka". kalau bersifat menjatuhkan, dengan kalimat yang dilontarkan muslim tersebut bukankah harusnya Coki yang tersinggung ?
Sebetulnya ketakutan apa yang dirasakan orang - orang yang menganggap itu adalah penistaan agama ? Agama tidak berkurang nilainya apalagi berkurang kebenarannya oleh persepsi yang dibuat manusia. Belum pernah saya mendengar ada orang berpindah agama karena agama sebelumnya dijadikan bahan bercandaan. Tapi kalaupun ada, saya yakin bukan agamanya yang salah, melainkan orang itu yang imannya lemah.
Saya pernah membaca, tapi lupa sumbernya yang menyatakan bahwa beberapa komedi termasuk yang menggunakan sarkas menunjukkan fungsi sosial untuk memecahkan tabu yang menghambat komunikasi antar manusia. Beberapa lawakan soal agama mungkin memang bisa menimbulkan prasangka buruk, tapi jika konteksnya tepat justru lawakan itu bisa mempererat ikatan sosial. Lawakan yang berhasil adalah ketika yang melontarkan pernyataan tidak perlu menjelaskan, audien sudah bisa tertawa. tanpa disadari berarti audien mengakui mereka juga memiliki keresahan dan pemahaman yang sama dengan si pelawak. Bukankah kalau sudah sama - sama sepaham, manusia bisa lebih akrab ?

Komentar

Postingan Populer