Covid 19 dan Anxiety Disorder


Nganggur di rumah rasanya membahagiakan, tapi mengingat dana darurat yang sudah mulai digunakan untuk bayar tagihan dan penghasilan dari instagram belum bisa diandalkan, Januari 2020 aku mulai agak serius mulai mendaftar kerja ke beberapa perusahaan. Apply lamaran secara online melalui beberapa platform kerja belum ada yang tembus. Sekalinya ada dan bisa wawancara, ekspektasi antara aku dan perusahaan tidak sama, sampai ada perasaan apakah aku yang salah karena sudah dua bulan lebih belum ada yang menerima ? tapi aku tetap berusaha berpikiran positif bahwa memang aku nggak cocok aja untuk pekerjaan itu.

Kegiatanku selama menjadi  deadwood (pengangguran) hanya upload foto instagram kalau lagi pengen atau kalau ada project, makan, tidur, nonton youtube, ke perpus karena nggak punya budget untuk beli buku, atau sekedar motoran keliling, tapi nggak terlalu jauh. Plus, kadang apply kerja lewat online yang kemungkinan sama sekali nggak dibaca sama HRD. Lamaran di jobstreet saja sampai puluhan, dan belum pernah ada panggilan wawancara.
Saat itu masih lumayan awal berita virus corona menyebar dari Wuhan.

Aku masih aktif mengikuti update beritanya baik melalui televisi, youtube, ataupun artikel. Melihat banyaknya korban dan media yang membawakan berita dengan serius, aku mulai agak khawatir kalau aku overthinking. Apalagi sejak diberitakan virus  sudah menyebar di singapura dalam beberapa hari, aku yakin sebentar lagi juga bias menyebar di Indonesia.

Banyaknya meme yang menyebar di Internet bahwa orang Indonesia kebal dengan virus karena hidupnya sudah terlalu jorok tidak membantu meredakan kecemasanku terhadap virus ini. Sampai akhirnya aku sadar diri, aku nggak akan kuat memikirkannya, aku berhenti mencari artikel tentang update virus ini. aku agak menghindari update berita korban yang terpapar virus. Paling yang nggak bisa dihindari cuma update yang dibacain kakakku.
Pada awal virus ini menyebar, kebutuhan beberapa barang langsung menipis di pasaran, terutama masker dan hand sanitizer, tapi aku nggak terlalu peduli karena nggak terlalu butuh.

Sampai akhir februari, kakakku dapat iklan dari internet bahwa tiket penerbangan air asia turun harga karena corona. Kita memutuskan untuk beli tiket ke Singapura. Yes, liburan!

Untuk persiapan liburan, kita butuh masker dan handsanitizer mengingat petugas imigrasi bandara semarang agak rese pas terakhir kali ketemu, jadi kita persiapkan kebutuhan dengan lebih matang dengan membawa masker. Kakakku hanya bisa membeli 3 pcs masker di Ungaran. Sudah ke beberapa apotek dan took, stoknya kosong. Aku yang merasa di Magelang baik – baik saja menawarkan diri untuk membelikan masker.  Benar saja, aku langsung dapat masker dengan harga RP. 6.000 per piece. Karena aku nggak pernah beli masker, aku tanya harga normalnya ke kakakku, dia jawab 1.500. wiih, ada tapi harganya 4 kali lipat ya ? karena nggak mau rugi, aku mencoba cari ke apotek lain ternyata kosong. Sampai aku sudah memutar ke 4 kecamatan dan berhenti di setiap apotek yang dilewati, ternyata semuanya kosong. Disitu, aku mulai panik.

Setelah pulang, aku titip bapakku karena ada apotek dekat tempat kerjanya yang belum aku datangi. Tapi, beliau malah ke warung tengah desa dan berhasil membeli 10 pcs masker dengan harga 3000 per pcs. Oke, masalah masker selesai, liburan aman, hati sudah tenang.

Sepulang dari liburan, aku mencoba apply kerja lagi di perusahaan. Beberapa diantaranya malah membatalkan lowongan yang sudah dibuka karena covid 19 ini. Aku mulai pesimis. Ditambah dengan banyaknya berita yang tak sengaja aku lihat / dengar bahwa banyak karyawan di PHK dan rencana dirumahkan karena perusahaan udah nggak sanggup bayar karyawan. Aku merasa nggak punya kesempatan.

Pariwisata Indonesia mulai ditutup, Bapak jadi terpaksa berhenti bekerja. Rencana hanya ditutup satu bulan, makanya aku menyemangati bapak dengan berdalih anggap aja liburan, karena selama mulai kerja dari muda, liburan kerjanya bisa dihitung jari. Beliau gelisah nggak karuan karena jadi pengangguran. Aku jadi merasa senior karena sudah lebih tenang dan lebih duluan menganggur.

April 2020, virus semakin menyebar dan membahayakan. Ada protokol keluar rumah dan semua orang dihimbau tidak keluar rumah. Beberapa Negara malah memberlakukan lockdown. Tanpa sadar pikiranku penuh. Yang sebelumnya aku mendaftar untuk acara google di California September mendatang, terpaksa dibatalkan bahkan sebelum tahap wawancara. Dunia menjadi semakin menakutkan. Kakakku di Malaysia bilang disana lockdown, nggak berani keluar rumah, nyetok kebutuhan pangan untuk sebulan, nggak bias jajan diluar, anak – anak sekolah dari rumah. Kakakku yang di Semarang bilang masih bekerja, tapi jamnya dikurangi drastic. Diperusahaannya juga sudah melakukan PHK beberapa karyawan, tapi untungnya kakakku masih bekerja walau hanya seminggu sekali atau dua kali.

Sampai penyebaran Covid 19 di Amerika sudah sangat parah dan Amerika memberlakukan lockdown, pabrik tempat kakakku bekerja juga ikut ditutup karena market mereka di Amerika. Semua karyawannya dirumahkan, termasuk kakakku. Akhirnya dia pulang ke Magelang, dan sekarang ada 3 pengangguran dirumah. Satu – satunya yang masih aktif bekerja adalah ibuku. Beliau jadi butuh panen padi. Lumayan, buat ngasih makan para deadwood. Bapak walaupun statusnya pengangguran masih aktif menggarap kebun sekitar rumah. Menanam singkong, pepaya, pisang, dan terakhir halaman yang terlihat luas yang kukira akan dibiarkan begitu saja malah ditanami pohon nangka.  Aku dan kakakku yang beneran berasa pengagguran.
Sebulan pertama sejak bersama kakak dirumah lumayan menyenangkan karena berasa punya teman.

Tapi, covid 19 yang membuat kita lebih banyak dirumah juga membuatku stress dan cemas. Aku mulai tidur nggak nyenyak lagi, atau terbangun tengah mlaam. Dari rasa bosan, sampai lama – lama takut karena nggak tahu kapan keadaan buruk ini berakhir. Memasuki bulan puasa, karena sudah terbiasa bersantai dirumah jadi nggak terasa istimewanya bulan puasa. Menjelang lebaran juga nggak ada keinginan buat beli snack karena tahu nggak akan ada banyak tamu.

Pemikiran tentang keasaaan yang buruk selama berbulan – bulan dan ketidakpastian masa depan membuatku cemas berlebihan. Kadang bahkan aku mencemaskan diriku sendiri karena kebanyakan cemas. Karena sadar aku sedang tidak baik – baik saja, aku mulai mempelajari keadaanku sendiri. Aku membaca beberapa artikel tentang kecemasan, dan mencari jawaban apakah kecemasanku normal atau tidak.

Aku juga melakukan test psikologi online yang hasilnya adalah tingkat stress dan kecemasanku berada di level tinggi dan disarankan untuk pergi ke professional. Tapi, mengingat aku ini pengangguran, kalau mau ke psikolog kan kayaknya nggak kayak berobat ke dokter umum kalau pas batuk yang sekali datang langsung sembuh dan biayanya murah, jadi sampai saat ini aku masih belum ke psikolog / psikiatri. Yang aku lakukan kalau lagi sadar seperti saat ini adalah mencari artikel, buku, ataupun tayangan ang membahas tentang kesehatan mental, dan mencocokkan sendiri. Bukannya aku self diagnose, tapi misal melihat gelaja PTSD ada yang sama dengan gejalaku, aku pelajari cara penyembuhannya. Menonton cerita penderita GAD lewat youtube, aku ikuti langkah – langkah dia sesuai anjuran psikolognya. Dan seterusnya.

Tapi kadang, aku merasakan juga tubuhku diluar control. Aku kadang hypersomnia, kadang insomnia, kadang udah melek tapi tubuhnya nggak mau digerakin, merasa capek banget padahal nggak ngapa – ngapain, juga takut dan sedih banget tanpa alasan. Tanpa sadar juga mulai anti social. Tiba – tiba takut ketemu orang. Eh, jangankan ketemu, ada yang chat di WA aja langsung aku blokir. Padahal hanya sekedar balas story yang kuunggah, atau kalimatnya baru bilang “boleh minta tolong nggak ?” semua WA group aku mute, ada beberapa yang aku left juga tapi nggak banyak. Buat teman – teman yang chat pribadi selama bulan puasa kemarin, maaf ya.

Setiap kali aku merasa buruk, aku cerita ke orang – orang yang berbeda. Mulai dari teman biasa, penderita anxiety disorder yang sudah konsultasi ke professional, sampai praktisi mental health. Semuanya via online, dan selalu setelah aku selesai cerita baik sudah dibalas ataupun belum aku langsung merasa lega sampai selalu bilang “mas/mba/dok, kayaknya aku udah baik – baik aja setelah cerita, kayaknya nggak perlu kasih advice. Makasih kalau sudah dibaca.” Berulang kali seperti itu, tapi jadi kambuh – kambuhan. Setelah merasa baik – baik saja, 3-4 hari kemudian badmood lagi, sedih lagi, merasa ada masalah lagi.


Sampai pernah di pertengahan menuju akhir puasa, pagi – pagi cerah, langit sudah terlihat biru, udara harusnya hangat, melihat semua orang dirumah kelihatan semagat. Tapi aku sendiri merasa kedinginan sampai harus ambil kaos panjang, kaos kaki, syal, dan selimut double. Aku sadar itu bukan karena aku masuk angina, karena moodku juga nggak baik dan merasa pengen tidur aja seharian. Setelah dhuhur dipaksa bangun tapi tetap nggak mood seharian, nggak ngobrol sama orang rumah seharian. Paling kalau ditanya Cuma jawab “hm” atau gerakan badan. Sebisa mungkin menghindari. Orang tuaku nggak sadar, kakakku kayaknya sadar, dan paling cuma anggap aku lagi nggak mood aja. Keadaan ini masih terus berlanjut hingga keesokan harinya, aku masih merasa takut dan cemas. Tapi tubuh sudah normal, hanya masih belum mau ngobrol sama siapapun. Agak siang ngajak kakak nonton bareng, mencoba normal tapi tetap nggak terobati. Besoknya aku cerita ke orang lain dan merasa lebih baik.

Semakin mendekati lebaran, aku merasa keadaanku semakin parah. Aku sadar aku sakit, aku sadar kalau perut tiba – tiba sakit, kepala migrain, jantung sesak, dan beberapa penyakit fisik lainnya yang aku rasa cuma psychosomatic karena aku pernah periksa ke dokter dengan gejala sakit di bagian perut, padahal perutku nggak ada masalah. Aku sadar, tapi aku nggak bisa mengendalikan. Jadinya marah sama diri sendiri. Yang menakutkan adalah suicidal thought. Aku pernah memikirkan cara mati yang nggak sakit. Aku jadi takut sama pemikiranku sendiri. Itu 2 hari sebelum lebaran. Besoknya aku cerita ke seorang teman bahwa aku pengen ada di adegan seperti di film atau novel yang ku baca yaitu aku tetap hidup, tapi invisible. Aku juga minta di pancing buat nangis, karena kayaknya setelah nangis aku akan merasa baikan. Sekali lagi, ini diagnosis pribadi, tanpa professional, jangan ditiru. Tapi udah di pancing cerita sedih, siksa api neraka, nggak juga berhasil bikin aku nangis ataupun lebih baik.

Malam takbiran, sekitar setelah magrib tanpa alasan, aku tiba – tiba nangis  sendiri dikamar.  Hanya perlu berjaga – jaga kalau sewaktu – waktu kakakku masuk kamar, tapi untungnya tidak.  Seperti meditasi yang sudah ku pelajari sedikit selama beberapa waktu terakhir, yang terpenting adalah sadari diri. Oke, aku sadar aku menangis, aku terima. “Hey tubuh, silahkan menagis, tapi jangan bersuara agar tidak mengganggu orang lain, sepuluh menit cukup ya ?” setelah sekitar 10 menit, aku menyadarkan diri lagi untuk berhenti menagis. walaupun rasanya masih agak kurang. Aku langsung cuci muka dan merasa lebih baik. Tapi saat akan tidur, diam – diam hatiku bilang, tanpa bias aku control “tidur ya, nggak usah bangun lagi.”
Syukurnya, Tuhan tidak mengamini doaku malam hari. Aku terbangun mendengar suara takbir dari masjid. Seburuk apapun, ini hari besar. Tetap harus dirayakan. Aku mandi dan terlihat baik – baik saja. Sholat ied, minta maaf dengan keluarga, silaturahmi ke beberapa saudara dan tetangga. Mengenai social phobia yang tadi sempat tak sebutkan, karena covid 19 ini di tempat tinggalku tetap mengadakan shola tied tapi dengan jamaah yang tidak banyak, berjaga jarak, tanpa salaman, dan mengenakan masker, aku merasa tenang saat menggunakan masker dan saat beberapa orang tidak mengenali.

Lebaran kedua tidak ada agenda, hanya dirumah saja. Mau nonton film rencananya. Pagi tetap mandi dan berdandan rapi karena masih lebaran. Saat memindah film yang akan di tonton ke computer, ada telepon masuk dari kakak sepupu . pas diangkat bicaranya nggak jelas, tapi dia nangis. Bapaknya, yang adalah kakaknya bapak, meninggal dunia setelah 3 hari sebelumnya menjalani operasi. Kita langsung menuju rumahnya, dan mengerjakan banyak hal tanpa memikirkan apapun.

Singkat cerita, setelah melihat mayatnya, sudah dimandikan, di kafani, anak – anaknya menangis, sampai dibacakan surat yaasiin, aku ikut menangis dan menyesali pemikiranku kemarin bahwa aku pengen mati. Mati nggak sesederhana meninggalkan masalah dan rasa sakit yang selama ini di derita. Aku nggak bias bayangin kalau aku mati dan malah membuat keluargaku sedih dan tambah masalah. Aku bersyukur masih diberikan hidup.

Setelah 4 hari aku bantu – bantu menyiapkan pengajian dan lain – lain, hari sabtu lalu aku mulai ‘ngajak baikan diri sendiri’. Aku minta maaf karena sudah berpikiran buruk, minta maaf karena menyakiti diri sendiri,  dan juga berterimakasih karena masih mau bertahan hidup sampai hari ini. lalu unblock kontak – kontak  yang sempat aku block, mulai membalas pesan, dan mencoba hidup normal juga menerima tawaran project lagi.

Yang tadinya aku merasa selalu sendiri, teman – teman menjauh saat aku ada masalah, ternyata mereka tetap pada posisi semula, justru aku yang menghindar dan menutupi masalahku sendiri. Sekarang, disaat dunia sedang banyak menyuarakan new normal karena membiasakan diri dengan covid 19, aku juga membiasakan diri untuk new normal, menerima diri, dan berusaha terus berpikiran positif.

Buat para pembaca, kalau ada masalah usahakan cerita yak e siapa aja biar nggak terus terpendam dan malah menumpuk suatu hari. Kalau masalanya kayak aku yang dari dulunya nggak pernah terbiasa cerita sama orang lain, cari satu orang yang bias kalian percaya bias membuat kalian lebih lega. Atau kalau nggak ada, cari stranger missal followers instagram yang nggak kenal dan nggak ngurusin hidup orang. Kalau udah parah banget aku saranin ke professional.
Jaga kesehatan ya.

Komentar

Postingan Populer